Tempat ini selalu mengingatkanku pada hari-hari dimana aku dan keempat sahabatku melalui hari bahagia. Memanjatkan syukur setiap azan berkumandang, melantunkan ayat-ayat suci di kala senja, mengajar ngaji di kala petang, mengumpulkan rekan-rekan sebaya untuk memenuhi masjid bersama-sama mencari pahala akhirat. Saat itu, ya saat itulah dimana kedewasaan menghampiri diriku. Di tempat ini, di masjid yang tidak berukuran besar, namun sudah berubah total arsitekturnya. Masjid yang terletak di tengah desa.

Aku teringat dengan ucapan teman kakakku yang juga seorang aktivis dakwah. Beliau mangatakan dewasa itu bukan dari umur, bukan dari ukuran fisik, namun kedewasaan itu adalah bagaimana kita mempersiapkan masa depan dari sekarang. Mempersiapkan akhirat dengan melakukan kebaikan di dunia. Apa yang kalian lakukan dengan memakmurkan masjid, mengajak orang-orang kemasjid, mengajarkan adik-adik dengan pengetahuan agama merupakan suatu tindakan kedewasaan. Kata-kata inilah yang membuat aku bangkit dari masa kecilku.

“Bagaimana fan?… sudah kau tanyakan masalah itu”. Aku terbangun dari lamunanku dengan suara tua yang lama kukenal sedari kecil. “Oh sudah pak. Tadi pesan bapak sudah saya sampaikan, dan kata mereka acara tasyakuran yang sekiranya  dilaksanakan ba’da isya ditunda setelah bapak-bapak pengajian melaksanakan takziah di tempat yang meninggal tadi pagi. Begitu kata mereka” jelasku pada bapak tersebut.

“Syukurlah kalau begitu, kalau mereka mau menunggu, soalnya kita juga nggak enak jika tidak takziah dulu. Namanya suasana berduka kita wajib menyenangkan yang ditinggalkan. Alhamdulillah kalau mereka mau mengerti. Nanti kita jelaskan saja pada saat acara tasyakuran.”
Jelas hari ini merupakan hari yang sulit. Dimana seharusnya hari ini sama-sama bersuka cita melaksanakan ibdah menyembelih hewan qurban. Tetapi yang namanya musibah tidak dapat diperkirakan dan tidak pula bias ditolak, ada seorang anak kecil yang masih cucu seorang pengurus masjid dan juga mantan anak murid mengajiku meninggal karena sakit. Pada malam harinya di hari yang sama. Sehingga mau tidak mau, kegiatan terbagi dua antara menyembelih hewan qurban dan melaksanan penguburan mayyit.

Waktu menunjukan 19.15 WIB, lima menit lagi akan memasuki waktu sholat isya. Masih kupandangi sekeliling masjid yang belum selesai dibangun namun sudah menunjukkan kegagahannya dengan beberapa orang tua yang menunggu azan isya dikumandangkan. “Begini fan, sambil menunggu waktu sholat isya, saya ingin membicarakan masalah RISMA. Mumpung kamu masih di sini”. Seketika aku memandang pak haji pengurus masjid dengan seksama. Memang sudah lama aku tinggalkan kegiatan RISMA atau Remaja Islam Masjid semenjak aku lulus kuliah. Terlalu sering aku meninggalkan tempat kelahiranku untuk pergi ke desa-desa terpencil di luar kota untuk melaksanakan pekerjaan tidak tetap yang aku lakukan.

“Semenjak kamu sering pergi, hampir tidak ada kegiatan RISMA yang dilakukan, contohnya kemarin pagi. Ketika melaksanakan gotong royong membersihkan masjid”. Beliau menjelaskan. “saya panggil anak-anak ko’ tidak ada yang nonggol secuilpun, akhirnya saya dan Mis serta anaknya saja yang ada.” Saya terdiam, mengingat kejadian minggu pagi waktu itu, ketika baru pulang dari luar kota dan waktu itu merupakan waktunya gotong royong anak-anak RISMA membersihkan masjid. Aku jadi merasa bersalah, karena tidak ada satupun anak RISMA yang datang dan hanya pak Haji dan Pak Hadi yang juga kakak tertuaku, serta anaknya Aji yang juga keponakanku. Aku jadi sangat bersalah.

“saya tidak menyalahkan kamu fan” lanjut pak Haji. “hanya saja mbok ya, diajak temen-temennya untuk datang ke masjid. Minimal ya… seminggu sekali atau sebulan sekali dengan kegiatan.” Beliau melanjutkan.
“masa’.. ketua RISMA dipimpin sama anak yang bapaknya ga pernah ke masjid. Gimana RISMAnya mau jalan.” Tegas pak Haji.

Seketika aku terpana, dan berfikir, mengingat bagaimana waktu pemilihan ketua RISMA kami menunjuk orang yang salah. Yang baru aku dan teman-teman sadari setelah berjalan beberapa bulan. Ketidak aktifan ketua di setiap kegiatan membuat kami kadang-kadang ingin sekali memarahinya. Namun tidak bisa juga kami menyalahkan karena diantara kandidat yang lain tidak ada yang memenuhi persyaratan.

Penyesalan selau menyelimuti diriku, dimana disaat sekarang orang-orang mengejar dunia tanpa memikirkan akhirat. Melihat remaja-remaja lebih sering nongkrong di pinggir jalan ketimbang di masjid. Lebih suka bercanda ria lewat telepon genggam dengan lawan jenis yang terkadang tidak mengenal waktu sampai berjam-jam dibandingkan melantunkan ayat-ayat suci di masjid. Sunggu hati ini rasanya bagai teriris-iris. Bagaimana pemuda sekarang lebih banyak melakukan aktivitas yang tidak ada kaitannya dengan masa depan hanya sekedar senang-senang dengan handphone, gitar, dan lawan jenis. Sungguh jauh dengan gambaran pemuda-muda islam di masa Rasulullah. Dimana hidup dan matinya hanya untuk mengakkan kalimat lailahaillallah di bumi Allah ini.

Kata-kata pak haji menyadarkan diriku. Bahwa berjuang di jalan dakwah tak mengenal waktu, tak mengenal tempat, tak mengenal usia. Kapanpun, dimanapun, di setiap ada kesempatan jangan pernah berhenti untuk menyebarkan nilai-nilai islam. Generasi yang harusnya menjadi tumpuan Negara dan agama jangan sampai rusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *