Saya sering bergurau di depan para guru tentang peran guru sebagai fasilitator: “Guru yang bukan fasilitator, biasanya lehernya agak bengkak.” Betapa tidak, setiap hari, dia berceramah di depan kelas, sejak pagi hingga sore. Padahal, seorang fasilitator harus yakin bahwa sebelumnya para siswa punya bahan-bahan atau pengalaman-pengalaman belajar. Tugas fasilitator itu meminta siswa untuk membangun pengalaman-pengalaman tersebut saat dia belajar bersamanya.

Dalam buku Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning (Grasindo, 2002) diruang-ruang kelas, Anita Lie–yang juga di-paparkan oleh Hernowo dalam VCD buku CTL–menggambarkan sosok guru sebagai fasilitator dengan sangat tepat. Fasilitator itu bagaikan teko yang penuh air, yang menyirami tanaman, bukan menyirami sebuah cangkir. Siswa diibaratkan tanaman sehingga jika diberi air, akan tumbuh dan berkembang. Sedangkan cangkir adalah benda mati. Siswa bukan benda mati, karena mereka hidup dan punya kehidupan. Jadi, jangan lagi guru mengajar dengan metode ceramah terus-menerus, seperti teko yang penuh air lalu menuangkan ke dalam cangkir hingga tumpah. Namun jadikanlah siswa itu tanaman yang dapat menyerap air dan mengembangkannya untuk tumbuh.

Percayalah,jika guru mengajar, belum tentu siswa belajar, bisa saja siswa tersebut mengantuk bahkan tertidur, bagaikan ada dua jalan tol yang berbeda antara guru mengajar dan siswa belajar. Seorang Guru pernah protes kepada saya, “Pak Munif, jika kita mengajar dengan metode ceramah, pastilah siswa akan mendapat ilmu dan pengetahuan dari guru. Kan mereka tudak tuli.”

Saya jawab dengan menganalogikan sebuah uang logam, yang punya dua sisi. Jika guru mengajar hanya dengan metode ceramah, siswa tersebut hanya mendapat satu sisi dari uang logam tersebut, yaitu tahu apa. Namun, jika siswa yang belajar dan siswa yang aktif, siswa tersebut akan mendapatkan dua sisi uang logam tersebut, yaitu tahu apa dan bisa apa. Sumber daya manusia sekarang ini sangat membutuhkan kemampuan bisa apa agar tidak ditaklukkan oleh perkembangan dunia yang pesat. Amatlah naif, jika sekolah dan Guru hanya membekali siswanya dengan pengetahuan tanpa dia dapat melakukan atau mempraktikkan banyak hal yang dibutuhkan bagi kehidupannya kelak.

Kalau bisa, guru mengajar atau presentasi itu hanya 30% setiap pertemuan. Sisanya, yang sebanyak 70%, digunakan untuk aktivitas siswa, membuat sesuatu atau melakukan refleksi terhadap materi pelajaran. (ditulis kembali dari buku Gurunya Manusia, Munif Chatib)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *